Pesona Keindahan Air Terjun Bekor, Nangahale - Perahu melaju pelan membelah perairan Pangabatang menuju ke Tanjung Darat. Inilah daratan terdekat yang paling mungkin kucapai dengan perahu nelayan kecil seperti ini. Pak Sartono sengaja memutar perahunya supaya memudahkan aku mengambil gambar kondisi perairan yang bening dan dipenuhi koral dan ikan warna-warni. Tak berapa lama perahu kami memasuki kawasan bakau dan mendarat di sebuah cerukan dalam di antara bakau. Saat di laut aku sendiri tidak bisa mengenali dimana kita bisa mendarat karena sepanjang pantai yang tampak adalah bakau saja. Selepas di darat, aku memutuskan naik ojek ke arah Likong.
Air terjunnya mengalir kecil di musim panas
Sesuai dengan informasi yang aku terima dari salah seorang kerabat pak Sartono yang sekarang bekerja di Dinas Pendidikan di daerah Nangahale terdapat satu air terjun yang menurut mereka menarik. Mereka sendiri tidak tahu nama air terjun itu namun mereka menyebut nama pak Blasius yang biasa menjadi pengantar tamu jika ingin ke air terjun itu. Dan sekarang nama pak Blasius di dusun Likong menjadi arah tujuanku.
Sekitar sepuluh jam di atas motor melintasi jalur jalan yang lebih banyak berupa tanah, akhirnya ojek bisa mencapai jalan raya. Sepuluh menit berikutnya ojek yang aku tumpangin sampai ke daerah Likong. Ingat ya bacangnya Likong bukan Lekong, beda banget gitchuu... *keselek biji duren*.. Berbekal informasi nama Blasius, aku diantar seorang anak kecil masuk ke gang kecil hingga ke sebuah rumah sederhana. Saat menyebutkan namaku, pak Blasius masih tampak kebingungan namun menjadi jelas saat aku menyebutkan nama pak Aswadi yang pernah bekerja menjadi guru di sini. Sayangnya hari Minggu ini beliau sedang ada keperluan keluarga sehingga tidak mungkin mengantarku. Saat aku minta dia menunjukkan arahnya saja, dia katakan kalau jalurnya baru saja dibuka dan tidak mudah untuk dilalui. Dia takut aku tersesat karena belum ada jalan ke sana, baru saja ada jalan dibuka tapi sebatas untuk pekerjaan pembangunan reservoir oleh PDAM yang akan menggunakan air terjun di situ. Untungnya pak Blasius menawarkan agar anaknya Rikardus yang akan membantu mengantarku ke air terjun. Aku setuju karena anaknya juga yang membantu saat ada obeservasi lapangan oleh sebuah tim beberapa kali. Aku sempatkan membeli pisang molen goreng dan minuman karena memang aku belum makan dari pagi selain kue-kue kering saat di Pangabatang.
Trap-trap air terjunnya cantik apalagi jika pas airnya banyak
Sambil berjalan, aku mendengarkan cerita Rikardus tentang awal mula air terjun ini ditemukan dan kondisi asli ke lokasi itu. Katanya, air terjun ini ditemukan oleh orang kampung Likong Gethe yang sedang gila. Dia lah yang memberitahu penduduk kalau ada air terjun disana. Katanya pulau, orang gila itu akhirnya sembuh. Mereka menamai air terjun ini Bekor (ingat Bekor, jangan salah lagi mengeja Boker... beda bangeetttt). Rikardus sendiri beberapa kali menemani orang-orang yang melakukan survei ke air terjun ini yang katanya mau dibuat sebagai sumber air bersih. Dia juga sering menemani rombongan tamu yang ingin ke air terjun. Dulu katanya hampir tiap minggu dia bisa bolak balik mengantar tamu ke air terjun, namun entah kenapa tahun ini belum ada lagi orang yang mau mengunjungi air terjun ini.
Jalur sungai dengan tebing curam
Dari Likong, Rikardus memilih mengajakku mengunakan jalan potong melalui kebun jagung dan kelapa milik penduduk. Menurutnya jarak dari Likong Gethe (itu nama lengkap kampungnya) ke air terjun Bekor sekitar 4,5 km. Entah apakah itu jarak betul atau kira-kira. Di sini kalau orang sudah mengatakan 1 km kadang-kadang kalau ditempuh 3 km juga belum sampai hahaha jadi jangan senang dulu kalau mendengar jaraknya dekat kecuali sudah mengalaminya sendiri.
Perjalanan sendiri seperti yang aku duga tidak mulus karena harus melewati sungai. Artinya jika musim hujan, air terjun ini sangat sulit dilalui. Di beberapa tempat aku melihat pipa-pipa yang terpasang di sepanjang pinggir sungai tapi masih belum terhubung semuanya. Pemasangan pipa ini juga menguntungkanku karena beberapa jalan jadi tidak terlalu menanjak. Menurut Rikardus, sebelum dibuat jalan ini, kondisi menuju air terjun tergolong jauh lebih sulit. Bahkan ada beberapa titik yang kita harus melewati bukit sambil berjalan merambat karena tidak ada jalan hanya berupa bekas jalan yang kondisinya tanahnya miring. Tak terhitung berapa kali aku dan Rikardus melewati sungai. Untung aliran airnya kecil jadi mudah kami lewati. Namun dari aliran airnya aku justru curiga kalau air terjun Bekor ini seperti air terjunnya umumnya di NTT yang debitnya di waktu musim hujan dan musim kering sangat jauh.
Aliran air terjun yang turun banyak di musim kemarau
Entah berapa jam aku berjalan aku sendiri sudah lupa, bahkan aku tak pernah menengok jam tanganku. Perjalanan yang harus menembus hutan ini melenakanku. Beberapa kali aku harus masuk ke dalam hutan yang katanya merupakan hutan yang hampir tidak pernah dijamah masyarakat. Jalan menuju air terjun memang naik turun bukit, namun arahnya makin menanjak. Di kilometer terakhir kami tidak bisa lagi melewati sungai karena sungai lebih dipenuhi batu-batu besar yang akan sulit untuk dilewati. Untungnya jalan terakhir yang dulunya paling sulit berupa jalan miring dengan bergerak merayapi bukit sudah tidak ada menjadi jalan tanah yang baru dibuat. Tapi kondisi jalan ini hanya bisa dilalui dengan jalan kaki, jika dengan motor trail mungkin masih bisa walau juga tidak mungkin sampai ke air terjun juga.
Sebenarnya sebelum sampai di air terjun kami juga melewati sungai yang mengalir sumber air panas. Sumber air panas ini tidak besar hanya berupa 2 pipa bambu yang menancap di dinding. Air dari bambu ini mengalirkan air panas. Di titik kelokan terakhir juga ada tebing batu kering yang katanya juga kalau musim hujan berubah menjadi air terjun. Artinya jika musim hujan banyak air terjun di daerah ini walau aku gak membayangkan bagaimana bisa kesana jika musim hujan.
Rikardus duduk di bawah pohon yang tumbang
Pesona Keindahan Air Terjun Bekor, Nangahale - Dari pinggir sungai tak tampak air terjun hanya terlihat trap-trap air mengalir karena air terjunnya sendiri terhalang oleh pepohonan. Setelah turun melewati sungai dan naik ke atas trap-trap air mengalirnya barulah tampak pemandangan air terjun yang tingginya mungkin sekitar 30 meteran. Dari dinding batu kapur yang ada tampaknya air terjun di sini pada waktu musim hujan cukup lebar, namun saat ini hanya ada 2 titik air terjun itu pun air terjunnya tidak deras sedangkan tiga dinding batu di sekitarnya sudah mengering.
Suasana sekitar air terjun terasa sejuk apalagi pepohonan rindang disekelilingnya. Aku sempat mampir mandi disumber air panasnya. Sekitar jam 2 siang aku sudah kembali ke dusun Likong. Aku hanya berhenti sebentar di batas terakhir hutan untuk sejenak minum dan makan gorengan walaupun sebenarnya kaki sudah terasa kebal.
Dari Likong aku naik ojek dengan biaya 50rebu walaupun setelah sampai tukang ojeknya minta tambah untuk uang bensin karena setelah sampai kota baru sadar kalau ternyata jauh... hahaha ada-ada saja, mereka yang orang asli masak gak tau jarak dari Likong ke kota Maumere. Akhirnya aku tambah uang 7rebu karena cuma itu uang kecil yang tersisa di kantongku.
Sebenarnya pada waktu yang sama, teman-teman dari Mofers Photography juga sedang melakukan perjalanan ke air terjun Murusobe yang jauh lebih besar debitnya dan lebih tinggi. Namun sayang aku memang ingin ke Pangabatang sehingga ajakan ke Murusobe terlewatkan. Tak apalah, yang penting suatu ketika nanti aku juga bisa mampir ke Murusobe.